Berada di ujung jalan Gubeng Surabaya, Maestro, tempat digital printing ini tampak ramai dikunjungi orang yang datang dan pergi, membuatku berhenti sejenak sambil memutar kembali memori di kepala ini.
Nama ini cukup familiar.
Yah.... Aku melihat nya beberapa kali ketika menyusuri jalanan kota Malang.
Nama yang muncul pertama kali dalam benak siapa pun yang memerlukan nya, khusus nya di kalangan muda mudi kota pelajar itu.
Sejenak aku terpaku ketika dalam sebuah kesempatan, aku dikenalkan seorang kawan kepada pemilik usaha ini.
Berpenampilan apa adanya dengan celana bermuda nya ditambah dengan celetukan celetukan ringan yang keluar dari bibir nya, tidak membuat lelaki setengah abad ini tampak berbeda dengan teman teman sebayanya.
Keberhasilan nya di dalam usaha yang dirintis nya sedari masih di bangku sekolah tidak membuat nya lupa akan jati diri nya sendiri.
Dia masih seorang teman bagi kami.
Dia masih seorang sahabat yang rendah hati.
Dia masih mau bergurau
dengan teman teman sepermainan nya dulu,
walau waktu telah menempatkan kami
pada posisi yang berbeda.
Dia masih tetap mencintai dan dicintai
Rasa cinta nya pada para karyawan nya pun berbalik kepada nya lagi ketika diterimanya kejutan manis yang mereka berikan di pintu rumah nya ketika berulang tahun.
"Aku selalu katakan pada mereka,
kalau aku memerlukan mereka.
Tapi aku pun mencintai mereka.
Seandainya ada peluang kerja lebih baik,
aku tidak akan melarang mereka
buat meraih kesempatan itu
demi masa depan nya,
karena itu adalah hak mereka.
Tapi tolong beri waktu
untuk mengisi kekosongan nya setelah itu. "
Sungguh bijaksana!
S U D A T N O
Tidak banyak yang bisa aku buka dalam lembaran album masa kecil ku, tapi aku tau dengan pasti, dialah teman sekolah ku dulu.
Walau suka main seperti anak anak lain nya, Sudatno muda sudah memikirkan hidup nya sekian tahun mendatang.
Putra pemilik depot mie ini berani mengambil langkah pertama nya.
"Aku memulai dengan mesin foto copy bekas seharga lima ratus ribu," ujar nya merendah.
Anak muda yang luar biasa ini sanggup melihat peluang.
Tiga puluh tahun lalu, tempat foto copy adalah tempat yang wajib dikunjungi para pelajar dan mahasiswa.
Sudatno muda berdiri dan meraih peluang itu walau dengan berjinjit di ujung jari kaki nya.
Pemuda ini melangkah,
perlahan dan pasti.
Kaki nya berdarah.
Tulang nya nyeri.
Jemari nya membengkak.
Kuku nya patah merobek kulit nya.
Tersandung, tapi dia mampu bangkit lagi.
Dan kembali melanjutkan perjalanan nya.
Ketika era keemasan fotocopy tergeser oleh digital, dia tidak mengijinkan matanya melihat akhir perjalanan nya.
Justru saat itulah dia sanggup melihat nya sebagai awal babak baru dalam usaha nya.
Bahkan di usia nya sekarang, ketika teknologi laser mulai memasuki dunia industri, bapak dua orang pangeran ini mampu menangkap peluang itu sebagai langkah awal untuk generasi penerus nya.
Dia membuktikan pada dunia, bahwa dia sanggup.
Dia sanggup menahan diri di saat teman teman sebaya nya menikmati masa muda mereka.
Dia sanggup bergerak mengikuti jaman, ke mana pun arah nya.
Bahkan dia sanggup menahan mimpi kekasih nya akan sebuah pesta pernikahan yang megah, mimpi yang akhirnya terwujud dua puluh lima tahun kemudian, persis di Silver Wedding Anniversary mereka.
Sudatno layak mendapatkan hiburan dari seorang diva negeri ini!
S U D A T N O
Menolak disebut boss,
pengusaha fotocopy ini
belum melihat akhir dari perjuangan nya.
Bukan untuk diri nya sendiri
Tapi untuk kedua putra mahkota nya
Tetap lah berjuang, sahabat.
Tetap lah menjadi inspirasi kami.
Tetap lah memegang ilmu padi,
Ilmu ketimuran dalam kancah globalisasi.
kupandangi dari atas tanah yang retak
kupandangi dari atas tanah
yang tergenang
diselimuti air
warnamu yang semakin hari terlihat kuning
selalu terganti hijau
yang enggan untuk hilang
menunduk ditiup angin
menari dihinggapi capung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar