Rabu, 23 Januari 2019

S E M U

Seperempat abad yang lalu,  
ketika aku setuju untuk mengucapkan 
janji sehidup semati 
dengan seorang lelaki dengan budaya Tiongkok nya,  
orang tua ku sempat berpesan 
agar tetap bisa mandiri,  
sehingga tidak terjebak 
dalam ji-ngek sa-ngek mereka - 
istilah untuk istri kedua dan ketiga nya.

Ayah ku adalah China peranakan. 
Sementara keluarga ibu ku bahkan menggunakan bahasa nenek moyang mereka dalam keluarga nya.
Sedikit dari mereka yang fasih berbahasa indonesia. 

Aku tertawa mendengar nasihat itu.

Come on.

Ini Indonesia,  bung.  Ini abad ke 20.

Budaya ber poligami adalah budaya dari dinasti Qing di abad ke 16.

Saat itu poligami dianggap sebagai sebuah kebanggaan,  sebuah status sosial. 
Dan para wanita pun bangga dengan status mereka yang bukan istri pertama, karena mereka terpilih dari sekian juta wanita lain.

Sementara istri pertama pun tidak mampu berbuat apa apa, 
kecuali mengikuti keinginan sang suami,  
karena mereka bergantung penuh pada nya. 

Gaya hidup mereka,  gengsi mereka,  
bahkan keluarga mereka pun terjebak dalam gaya hidup dan gengsi yang diciptakan oleh sang menantu.

Mereka lebih suka di madu daripada diceraikan!!!

My God!!

It won't be happen to me. Itu tidak akan terjadi padaku.

Itu tekad ku saat itu.

Belum habis jemari ini menghitung tahun tahun kebersamaan kami ketika aku menyadari arah langkah ku bersama dia.

Dan sebelum aku terjebak lebih dalam sehingga sulit untuk keluar,  aku pun memutuskan buat melangkah sendiri bareng bayi kecil ku.

Prinsip yang berbeda ini,  prinsip yang telah terbaca orang tua ku sedari awal ini,  tampak seperti kerikil tajam pada jalan di hadapan ku.

It is a nightmare!! Aku tidak bisa menerima nya.

Satu hal yang aku tahu : HIDUP ITU INDAH


Dua puluh lima tahun sudah aku jalani.

Sampai akhirnya,  tanpa aku sadari,  tanpa bisa aku hindari,  aku terjatuh dalam pelukan lelaki yang berstatus suami orang.

What the fuck!!!!

Aku benci diri ku sendiri.
But I can't help.

Takdir?  
Destiny?  
Atau itu yang disebut pilihan? 
The choice.

Kalau aku boleh memilih,  

aku memilih untuk tetap sendiri.
Kalau boleh aku memilih,
Aku memilih untuk menjauhi kehidupan sosial.

Semua andai-andai itu pun dimulai dari sebuah KALAU.

Kalau aku boleh memilih, 
Aku memilih untuk tidak menjadi single parent.

Penyesalan kah? 
NOOOO.....


Dari seorang anak mami 
yang tidak memahami arti 
sebuah kehidupan remaja
Menjadi seorang ibu sekaligus ayah
Membuat ku berbeda 
dari perempuan kebanyakan.

Melewati tsunami besar dan gempa bumi
Membuat pondasi ku lebih kokoh 
dari pada seorang Goliath.

Jatuh cinta di usia setengah abad?
Menjadi istri kedua?

S E M U

Hanya itu kata yang tepat.
Kehidupan itu semu.


Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: 
ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran 
yang layak untuk perbuatan orang fasik, 
dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala 
yang layak untuk perbuatan orang benar. 
Aku berkata: "Ini pun sia-sia!"  
( Pengkotbah 8:14 )

Seperti menuai badai 
Layaknya menjaring angin



Karena toh umur manusia terbatas
Kemampuan nya terbatas
Kekuatan nya terbatas
Waktu nya terbatas


Apakah cinta
Apalah benci
Apakah balas budi
Apakah dendam


Ada orang yang menguji mu
Ada yang menggunakan mu
Ada yang mencintai mu
Dan ada yang mengajari mu

Ada pula yang mengeluarkan
semua sisi baikmu
dan mengingatkanmu
Hidup ini layak untuk mu

S E M U


Idealisme pun semu
Kesucian pun semu 
Penderitaan pun semu


Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku
Dengan telanjang pula aku kembali ke bumi
Dari tanah kembali ke tanah
Dari debu kembali ke debu


S E M U

Tapi bukan KOSONG
Karena hidup ini berarti 
Karena hidup adalah tentang menikmati nya
Adalah tentang menjadi bahagia




Berbahagialah orang yang membawa damai, 
karena mereka akan disebut anak-anak Allah 
( Matius 5:9 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar