Senin, 22 Januari 2018

Mereka Bilang Engkau Ada

Saya mengenal seorang wanita cantik yang memiliki kehidupan di atas rata-rata wanita kebanyakan. 
Suami yang mengasihi, pelayan gereja yang aktif, fasilitas yang mendukung, agenda perjalanan ke tiga benua setiap tahun, komunitas yang menghargai, namun tidak dikaruniai anak.
Berbagai usaha telah dilakukan. Tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkannya.
Pujian dan doa, sebagaimana yang diajarkan di kelas melayani, merupakan santapan, makan siang dan makan malam pasangan ini. Bahkan merupakan teman minum teh pula.
Iman perempuan ini sanggup membuat mereka berteguh hati dan menyatakan agar kehendak Tuhan saja yang jadi. Biarkan Tuhan yang membuat semua nya indah pada waktu Nya.
Memasuki tahun ke sepuluh kehidupan pernikahan mereka, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi lelaki. 
Sebuah pergumulan yang luar biasa bagi wanita ini, yang mempertaruhkan iman nya kepada Dia yang Maha Kuasa, yang menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, Dia, yang dikenalnya dengan nama Tuhan Yesus Kristus.
Ketika si anak berusia 14 tahun, entah bagaimana, dia menyadari bahwa orang tua yang selama ini dikenalnya bukanlah orang tua kandung nya. Dia pun mempertanyakan hal tersebut kepada ibu angkatnya.
Sang ibu, dengan kebesaran hatinya pun berjanji untuk mempertemukan anak itu dengan wanita yang melahirkannya di ulang tahunnya yang ke 17, walau ada resiko yang mungkin terjadi, yaitu kehilangan anak semata wayang nya.
Tiga tahun lamanya, wanita ini bergumul dengan dirinya sendiri.
Tiap hari, di dalam doa nya dia mohon kekuatan yang dari pada Nya saja, sebelum dia menerima kenyataan adanya kemungkinan si anak memilih tinggal bersama orang tua kandungnya. Ketaatan sang putra membuatnya semakin teguh, dengan keyakinan dirinya tidak akan dilupakan dan ditinggalkan di masa tuanya.
Namun di malam ulangtahun ke 17 nya, sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa anak muda ini, tepat sehari sebelum dia bertemu dengan wanita yang melahirkannya.

Dan hati wanita cantik ini pun memberontak.
Ingatannya melayang ke 17 tahun lalu, ketika ia menyerah untuk meminta kehamilan, dan memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi.
Hanya melalui anak ini, Tuhan nya, Yesus Kristus, yang NamaNya diserukannya di setiap helaan napasnya selama lebih dari tiga decade, yang dia yakini merupakan alamat yang tepat ketika dia beseru, Ya Abba ya Bapa, hanya berdiam diri !
Kemarahannya membuat nya mempertanyakan kepercayaan nya sendiri.
Kekecewaan membuat dia meragukan keadilanNya.
Rasa sakit dan pedih di hatinya melahirkan keragu-raguan atas kehadiranNya.
Benarkah Engkau ada dan hidup ?
Sungguh kah Engkau adalah Kasih ?
Penderitaan demi penderitaan ini kah yang Kau sebut Kasih Mu pada ku ?
Saudaraku,
Kadang perahu kehidupan kita pun dibawa Tuhan ke dalam badai.
Kata-kata “Badai pasti berlalu” terdengar bagai lagu pengantar tidur di saat-saat seperti itu.
Dan ketika kita terbangun kembali, pertanyaan-pertanyaan itu pun kembali mengusik kita.
“Apa mau Mu, Tuhan?”
“Kenapa aku, Tuhan ?”
“Bagaimana aku sanggup melaluinya, Tuhan ?”
“Di mana Engkau, Tuhan ?”
Sebelum Tuhan menjawab, karena Tuhan pasti akan menjawabnya, ada baik nya kita mempersiapkan diri kita dan balik bertanya, sudah siapkah kita mendapatkan jawaban Nya ?
Yah, jawabanNya, kata-kataNya, firmanNya, bukan kata hati nurani kita sendiri, bukan kata darah dan daging kita sendiri, bukan kata pikiran kita sendiri, bukan kata perasaan kita sendiri.
Suara Tuhan tidak akan terdengar bagai petir yang menggelegar. Kata-kataNya tidak akan sejelas suara yang ditimbulkan oleh pengeras suara berskala raksasa yang mampu menjangkau ribuan orang di arena balap mobil international. Bahkan SuaraNya tidak sekeras volume televisi di ruang keluarga kita.
Tidaklah mengherankan bila suara Nya terkalahkan oleh suara – suara dunia, yang ramai dibicarakan via beragam media, mulai dari berita di suratkabar, televisi, sosial media, broadcast  di dalam berbagai group chat di dalam genggaman kita dari waktu ke waktu.
Harga yang semakin tinggi.
Kebutuhan yang semakin besar seiring bertambahnya usia anak-anak.
Lapangan kerja yang semakin sempit. Jumlah sarjana yang bertambah dari tahun ke tahun.
Angka pengangguran yang semakin meningkat.
PHK di mana-mana.
Krisis ekonomi di banyak negara maju yang membawa dampak global.
Perceraian bukan lah hal yang memalukan lagi. Kenakalan remaja bukan barang baru.
Kehamilan di luar nikah, pernikahan dini, aborsi, teman tapi mesra, apapun itu namanya, perselingkuhan, bagaikan singa yang mengaum dan siap menerkam mangsa nya yang lengah. 

Keresahan dan kekhawatiran melanda keluarga, bukan hanya para orangtua, namun juga putra-putri mereka.
Sementara di sektor kesehatan, para pengusaha minuman kesehatan justru meracuni kita dengan sejuta ketakutan akan bahaya kencing manis, kolesterol, gagal ginjal, serangan jantung, darah tinggi, kanker, dan setumpuk penyakit lainnya. Rambu-rambu pun di pasang untuk membatasi gerak kita. Hindari ini, jangan makan itu, perbanyak yang ini…… Lengkap dengan ancaman hukuman bila peraturan itu dilanggar : kematian.
Dan buah pohon pengetahuan baik dan buruk itu pun termakan oleh setiap kita.
Sejarah Taman Eden pun terulang kembali.


Sebelum manusia pertama memakan buah pengetahuan baik dan buruk itu, kita telah diberi kuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan atas segala binatang melata. Bahkan kita diberi kuasa untuk menaklukkan bumi.
Dan ketika kita menerima semua informasi negative tersebut, kita pun termakan oleh pengetahuan.
Kedamaian, sukacita surgawi dan kuasa Nya pun terampas dari kita.
“Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia : jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia” Kolose 2 : 20 - 22
Saudaraku,
Ketika kita menuntut jawaban Tuhan, pada waktu bersamaan, kita pun di tantang untuk mempersiapkan diri kita untuk mendapatkannya.
Apakah kita benar-benar menginginkan jawaban Tuhan atau hanya pelampiasan amarah kita semata ?
Mampukah kita mendengar suara lembut Nya ?
Bisa kah kita menutup telinga kepada suara-suara lain selain suaraNya ?
SuaraNya adalah damai sejahtera, SuaraNya adalah sukacita, SuaraNya adalah pengampunan, SuaraNya adalah kelemahlembutan, SuaraNya adalah kasih.
Bukan ketakutan, bukan kekhawatiran, bukan amarah, bukan kekecewaan, bukan keputusasaan, bukan penderitaan.
Dari pegunungan tertinggi sudah diteriakkan. Di tempat yang paling rendah, bisikannya terdengar. Dan melewati semua koridor pengalaman manusia, kebenarannya sudah didengungkan. Namun siapa yang mendengarkannya ?
Ocehan burung di pagi hari, gemuruh ombak di pantai, desiran angin gurun, nyanyian jangkrik mengiringi malam. Dan ribuan hari yang telah kita lalui sepanjang hidup kita.
Dari hari ke hari, minggu ke bulan dan ke tahun, di setiap akhir hari, berbagai perasaan mengiringi langkah kita ke peraduan. 
Seringkali Tuhan kita tertutup oleh banyak dan besarnya masalah.


Kadang kita mempersiapkan istirahat kita dengan senyum kebahagiaan, rasa puas, bangga, semangat untuk memulai hari berikutnya.
Alarm dipasang agar kita tidak terlambat bangun esok hari, Berbagai keperluan untuk esok sudah kita siapkan di tempat yang mudah dilihat begitu mata terbuka. Tidak ada yang boleh terlewatkan!
Setelah menutup doa kita dengan Amin, bahkan kadang semangat kita pun tidak mampu membuat mata lelah untuk beristirahat.
Namun di hari lain, tangisan dan jeritan hati kita menemani kita menutup hari itu.
Berbagai persoalan yang belum terselesaikan, masalah yang semakin besar, jalan yang sudah buntu.
Ada ketakutan, ada amarah, ada kekecewaan, ada kekhawatiran.
Bahkan kadang, kita pun berharap hari esok tidak pernah datang.
Kita berharap tidak akan pernah bangun lagi, karena bila kita membuka mata kita esok hari, masalah besar itu tetap ada di sana.

Suatu hari, seorang kawan pernah datang berkunjung dengan masalah uang sekolah anaknya. Dia begitu ketakutan, mengingat anak tunggal nya itu adalah satu-satunya harapan nya untuk mengangkat kehidupan mereka. Khawatir anak nya tidak bisa melanjutkan sekolah,  yang berarti hidup mereka pun selesai. Tidak ada harapan akan masa depan yang lebih baik.
Saya menatap nya dalam diam.
Dalam hati saya pun menangis, karena saat itu, saya bahkan tidak tahu apa yang bisa saya makan, sementara kewajiban saya sebagai orang tua di minggu itu sepuluh kali lebih besar dari pada masalah kawan tersebut.
Dan justru di dalam diam itu lah, suara Tuhan jelas terdengar.
Kata demi kata memberondong dari lidah dan bibir saya tanpa sanggup saya bendung, yang kemudian mengalir dengan bebasnya.
 “Percaya saja pada Tuhan kita. Lebih dari sekedar percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, karena iblis pun tahu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan mereka gemetar. Percayakan hidup kita padaNya, percayakan hari esok padaNya, percayakan perjalanan kita padaNya. Biarlah kehendakMu saja yang jadi, dan bukan kehendakku.”
Saya pun tersentak mendengar suara saya sendiri saat itu.
Iman saya pun bangkit.

Kekuatan saya menerobos bagaikan air yang terlepas dari bendungan nya.
Beban terangkat seketika itu juga.
Kasih Tuhan pada kawan saya tersebut memberi saya jawaban atas persoalan saya sendiri.
“Percayakan hidupmu pada Nya, karena rancangan Nya adalah rancangan damai sejahtera yang memberikan padamu masa depan yang penuh dengan harapan.”
“Tuhan kita tidak pernah berubah. Dia yang dulu pernah menolongmu, akan menolongmu lagi. Dia yang menyediakan tiang awan pada waktu siang dan tiang api pada waktu malam di padang gurun bagi bangsa Israel, Dia juga yang akan memeliharamu.”
“Dia bekerja di jalan yang tidak kita ketahui. Dia memberkati umatNya pada saat mereka tidur.”
“Sehelai rambut di kepalamu tidak akan jatuh tanpa Aku ketahui.”
“Sebab beginilah firman Tuhan semesta alam, yang dalam kemuliaanNya telah mengutus aku, mengenai bangsa-bangsa yang telah menjarah kamu  - sebab siapa yang menjamah kamu berarti menjamah biji mataNya.” Zakharia 2:8

Bagian tubuh kita yang bergerak reflek, tanpa perintah dari otak kita dan tanpa kita sadari, adalah kelopak mata kita. 
Sekecil apapun debu yang terbang ke arah mata kita, kelopak mata kita akan bergerak dan menutup dengan sendirinya, untuk melindungi biji mata kita.
Kalaupun sang debu itu berhasil mengenai mata kita, tanpa diperintah, kelenjar air mata akan memproduksi air mata yang lebih banyak untuk membersihkan biji mata kita dan menyapu debunya ke pinggir.
Seperti kelopak mata yang menjaga biji matanya, seperti itulah Tuhan menjaga kita !
Apapun kesalahan yang kita lakukan terhadapNya, dosa apapun yang menghalangi kita masuk menikmati hadiratNya, seberapa pun besar nya sakit hati Tuhan karena tingkah laku dan perbuatan kita, secara reflek dan tanpa berpikir panjang, Tuhan akan bereaksi dan bertindak melindungi kita.
KasihNya tanpa syarat, tapi janjiNya bersyarat.
KasihNya ini lah yang membuat Dia tidak dapat berpangku tangan saja melihat anakNya terancam.

Saudaraku,
Selama puluhan tahun, saya memiliki presepsi yang salah pada sebuah ayat di perjanjian lama.
“ Dan Aku akan memberi damai sejahtera di dalam negeri itu, sehingga kamu akan berbaring dengan tidak dikejutkan oleh apapun. Akulah Tuhan Allahmu yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya kamu jangan lagi menjadi budak mereka. Aku telah mematahkan kayu kuk yang di atasmu dan membuat kamu berjalan tegak” Imamat 26 : 6 &13
Kata-kata “kamu akan berbaring dan tidak dikejutkan” mengingatkan saya pada acara tutup peti di beberapa keluarga yang ditinggalkan orang yang mereka kasihi. Yah, kematian. Apalagi kemudian, di ayat berikutnya, kayu kuk pun disinggung oleh Musa sebagai penulis kitab ini.
Come on !  
Hidup ini adalah perjuangan, bagaimana tidak ada kuk ? Hidup ini tidak lah ringan, karena Tuhan mendidik kita, anak-anakNya kan?! Hidup ini berat !
Itu yang diajarkan oleh banyak hamba Tuhan, bukan?!
Jadi, ayat itu pasti bicara tentang kehidupan setelah kematian !! Bukan hidup sekarang, saat kita membaca buku ini !
Puluhan tahun kemudian, Tuhan ijinkan saya melihat kebenaran dari ayat ini, justru ketika saya merasa takut untuk membuka mata pada esok hari karena banyaknya masalah dan musuh di sekitar saya, sampai saya tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan saya.
Tuhan membawa saya ke satu titik di mana saya tidak bisa lagi mengeluarkan air mata ketakutan atau keringat kekhawatiran dan kecemasan, karena memang sudah kering !
Saya tidak bisa lagi lebih takut dan khawatir dari saat itu, saya tidak dapat lebih cemas lagi dari hari-hari gelap itu !
Saya hanya bisa bersyukur karena masih dipercaya Tuhan untuk melakukan sesuatu di hari itu.
Saya hanya bisa memujiNya karena Tuhan masih siapkan makan dan minum di hari itu untuk saya.
Saya hanya bisa menyembahNya dengan hancur hati karena merasa tidak pantas untuk menerima semua kebaikan itu.
Tuhanku terlalu baik untuk ku !
Dan pada saat itulah, mata dan hati saya menemukan kebenaran dari Imamat 26 di atas, yang bicara tentang penyertaan Tuhan pada saat bumi masih menjadi pijakan kaki kita.
Ada damai sejahtera, sekarang, justru pada saat saya punya seribu alasan untuk takut dan khawatir. Saya berbaring tanpa merasa takut untuk bangun dan menghadapi para penagih itu ! Saya rasakan langkah ringan walau beban tanggungjawab besar itu masih harus saya pikul.

Hidup ini bukan lah beban. 
Hidup ini tidak lah berat. 
Hidup ini bukan lah perjuangan.
Hidup ini adalah anugrah. 
Hidup ini indah. 
Hidup ini ringan.
Itulah kebenaran ! 
Itulah suara lembut Tuhan.
Mampukah kita mendengar Suara LembutNya sebelum kita menuntut jawaban dari Nya ?

“Aku di sini,
lebih dekat dari baju yang kau pakai,
lebih lembut dari angin yang mengusap kulitmu.
Bukalah pintumu,
dan Aku akan masuk untuk minum bersamamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar