Saya mengenal seorang wanita cantik yang
memiliki kehidupan di atas rata-rata wanita kebanyakan.
Suami yang
mengasihi, pelayan gereja yang aktif, fasilitas yang mendukung, agenda
perjalanan ke tiga benua setiap tahun, komunitas yang menghargai, namun tidak
dikaruniai anak.
Berbagai usaha
telah dilakukan. Tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkannya.
Pujian dan
doa, sebagaimana yang diajarkan di kelas melayani, merupakan santapan, makan
siang dan makan malam pasangan ini. Bahkan merupakan teman minum teh pula.
Iman perempuan
ini sanggup membuat mereka berteguh hati dan menyatakan agar kehendak Tuhan
saja yang jadi. Biarkan Tuhan yang membuat semua nya indah pada waktu Nya.
Memasuki tahun
ke sepuluh kehidupan pernikahan mereka, mereka memutuskan untuk mengadopsi
seorang bayi lelaki.
Sebuah
pergumulan yang luar biasa bagi wanita ini, yang mempertaruhkan iman nya kepada
Dia yang Maha Kuasa, yang menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, Dia,
yang dikenalnya dengan nama Tuhan Yesus Kristus.
Ketika si anak
berusia 14 tahun, entah bagaimana, dia menyadari bahwa orang tua yang selama
ini dikenalnya bukanlah orang tua kandung nya. Dia pun mempertanyakan hal
tersebut kepada ibu angkatnya.
Sang ibu,
dengan kebesaran hatinya pun berjanji untuk mempertemukan anak itu dengan
wanita yang melahirkannya di ulang tahunnya yang ke 17, walau ada resiko yang
mungkin terjadi, yaitu kehilangan anak semata wayang nya.
Tiga tahun
lamanya, wanita ini bergumul dengan dirinya sendiri.
Tiap hari, di
dalam doa nya dia mohon kekuatan yang dari pada Nya saja, sebelum dia menerima
kenyataan adanya kemungkinan si anak memilih tinggal bersama orang tua
kandungnya. Ketaatan sang putra membuatnya semakin teguh, dengan keyakinan
dirinya tidak akan dilupakan dan ditinggalkan di masa tuanya.
Namun di malam
ulangtahun ke 17 nya, sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa anak muda ini,
tepat sehari sebelum dia bertemu dengan wanita yang melahirkannya.
Dan hati wanita cantik ini pun
memberontak.
Ingatannya melayang ke 17 tahun lalu,
ketika ia menyerah untuk meminta kehamilan, dan memutuskan untuk mengadopsi
seorang bayi.
Hanya melalui anak ini, Tuhan nya, Yesus
Kristus, yang NamaNya diserukannya di setiap helaan napasnya selama lebih dari
tiga decade, yang dia yakini merupakan alamat yang tepat ketika dia beseru, Ya
Abba ya Bapa, hanya berdiam diri !
Kemarahannya membuat nya mempertanyakan
kepercayaan nya sendiri.
Kekecewaan membuat dia meragukan
keadilanNya.
Rasa sakit dan pedih di hatinya
melahirkan keragu-raguan atas kehadiranNya.
Benarkah
Engkau ada dan hidup ?
Sungguh
kah Engkau adalah Kasih ?
Penderitaan
demi penderitaan ini kah yang Kau sebut Kasih Mu pada ku ?
Saudaraku,
Kadang perahu kehidupan kita pun dibawa
Tuhan ke dalam badai.
Kata-kata “Badai pasti berlalu” terdengar bagai lagu pengantar tidur di
saat-saat seperti itu.
Dan ketika kita terbangun kembali,
pertanyaan-pertanyaan itu pun kembali mengusik kita.
“Apa
mau Mu, Tuhan?”
“Kenapa
aku, Tuhan ?”
“Bagaimana
aku sanggup melaluinya, Tuhan ?”
“Di
mana Engkau, Tuhan ?”
Sebelum Tuhan menjawab, karena Tuhan
pasti akan menjawabnya, ada baik nya kita mempersiapkan diri kita dan balik
bertanya, sudah siapkah kita mendapatkan jawaban Nya ?
Yah, jawabanNya, kata-kataNya,
firmanNya, bukan kata hati nurani kita sendiri, bukan kata darah dan daging
kita sendiri, bukan kata pikiran kita sendiri, bukan kata perasaan kita
sendiri.
Suara Tuhan tidak akan terdengar bagai
petir yang menggelegar. Kata-kataNya tidak akan sejelas suara yang ditimbulkan
oleh pengeras suara berskala raksasa yang mampu menjangkau ribuan orang di
arena balap mobil international. Bahkan SuaraNya tidak sekeras volume televisi
di ruang keluarga kita.
Tidaklah mengherankan bila suara Nya
terkalahkan oleh suara – suara dunia, yang ramai dibicarakan via beragam media,
mulai dari berita di suratkabar, televisi, sosial media, broadcast di dalam berbagai
group chat di dalam genggaman kita dari waktu ke waktu.
Harga yang semakin tinggi.
Kebutuhan yang semakin besar seiring
bertambahnya usia anak-anak.
Lapangan kerja yang semakin sempit.
Jumlah sarjana yang bertambah dari tahun ke tahun.
Angka pengangguran yang semakin
meningkat.
PHK di mana-mana.
Krisis ekonomi di banyak negara maju
yang membawa dampak global.
Perceraian bukan lah hal yang memalukan
lagi. Kenakalan remaja bukan barang baru.
Kehamilan di luar nikah, pernikahan
dini, aborsi, teman tapi mesra, apapun itu namanya, perselingkuhan, bagaikan
singa yang mengaum dan siap menerkam mangsa nya yang lengah.
Keresahan dan kekhawatiran melanda
keluarga, bukan hanya para orangtua, namun juga putra-putri mereka.
Sementara di sektor kesehatan, para
pengusaha minuman kesehatan justru meracuni kita dengan sejuta ketakutan akan
bahaya kencing manis, kolesterol, gagal ginjal, serangan jantung, darah tinggi,
kanker, dan setumpuk penyakit lainnya. Rambu-rambu pun di pasang untuk
membatasi gerak kita. Hindari ini, jangan
makan itu, perbanyak yang ini…… Lengkap dengan ancaman hukuman bila peraturan
itu dilanggar : kematian.
Dan buah pohon pengetahuan baik dan
buruk itu pun termakan oleh setiap kita.
Sejarah Taman Eden pun terulang kembali.
Sebelum
manusia pertama memakan buah pengetahuan baik dan buruk itu, kita telah diberi
kuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan atas
segala binatang melata. Bahkan kita diberi kuasa untuk menaklukkan bumi.
Dan ketika
kita menerima semua informasi negative tersebut, kita pun termakan oleh
pengetahuan.
Kedamaian,
sukacita surgawi dan kuasa Nya pun terampas dari kita.
“Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus
dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa
peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia : jangan jamah ini, jangan
kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa
oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia” Kolose 2 : 20 - 22
Saudaraku,
Ketika kita
menuntut jawaban Tuhan, pada waktu bersamaan, kita pun di tantang untuk
mempersiapkan diri kita untuk mendapatkannya.
Apakah kita
benar-benar menginginkan jawaban Tuhan atau hanya pelampiasan amarah kita
semata ?
Mampukah kita
mendengar suara lembut Nya ?
Bisa kah kita
menutup telinga kepada suara-suara lain selain suaraNya ?
SuaraNya
adalah damai sejahtera, SuaraNya adalah sukacita, SuaraNya adalah pengampunan,
SuaraNya adalah kelemahlembutan, SuaraNya adalah kasih.
Bukan
ketakutan, bukan kekhawatiran, bukan amarah, bukan kekecewaan, bukan
keputusasaan, bukan penderitaan.
Dari
pegunungan tertinggi sudah diteriakkan. Di tempat yang paling rendah,
bisikannya terdengar. Dan melewati semua koridor pengalaman manusia,
kebenarannya sudah didengungkan. Namun siapa yang mendengarkannya ?
Ocehan burung
di pagi hari, gemuruh ombak di pantai, desiran angin gurun, nyanyian jangkrik
mengiringi malam. Dan ribuan hari yang telah kita lalui sepanjang hidup kita.
Dari hari ke
hari, minggu ke bulan dan ke tahun, di setiap akhir hari, berbagai perasaan
mengiringi langkah kita ke peraduan.
Seringkali Tuhan kita tertutup oleh banyak dan besarnya masalah.
Kadang kita mempersiapkan istirahat kita
dengan senyum kebahagiaan, rasa puas, bangga, semangat untuk memulai hari
berikutnya.
Alarm dipasang agar kita tidak terlambat
bangun esok hari, Berbagai keperluan untuk esok sudah kita siapkan di tempat
yang mudah dilihat begitu mata terbuka. Tidak ada yang boleh terlewatkan!
Setelah menutup doa kita dengan Amin, bahkan kadang semangat kita pun tidak
mampu membuat mata lelah untuk beristirahat.
Namun di hari lain, tangisan dan jeritan
hati kita menemani kita menutup hari itu.
Berbagai persoalan yang belum terselesaikan,
masalah yang semakin besar, jalan yang sudah buntu.
Ada ketakutan, ada amarah, ada
kekecewaan, ada kekhawatiran.
Bahkan kadang, kita pun berharap hari
esok tidak pernah datang.
Kita berharap tidak akan pernah bangun
lagi, karena bila kita membuka mata kita esok hari, masalah besar itu tetap ada
di sana.
Suatu hari, seorang kawan pernah datang
berkunjung dengan masalah uang sekolah anaknya. Dia begitu ketakutan, mengingat
anak tunggal nya itu adalah satu-satunya harapan nya untuk mengangkat kehidupan
mereka. Khawatir anak nya tidak bisa melanjutkan sekolah, yang berarti hidup mereka pun selesai. Tidak
ada harapan akan masa depan yang lebih baik.
Saya menatap nya dalam diam.
Dalam hati saya pun menangis, karena
saat itu, saya bahkan tidak tahu apa yang bisa saya makan, sementara kewajiban
saya sebagai orang tua di minggu itu sepuluh kali lebih besar dari pada masalah
kawan tersebut.
Dan justru di dalam diam itu lah, suara
Tuhan jelas terdengar.
Kata demi kata memberondong dari lidah
dan bibir saya tanpa sanggup saya bendung, yang kemudian mengalir dengan
bebasnya.
“Percaya saja pada Tuhan kita. Lebih dari
sekedar percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, karena iblis pun tahu bahwa Yesus
adalah Tuhan, dan mereka gemetar. Percayakan hidup kita padaNya, percayakan
hari esok padaNya, percayakan perjalanan kita padaNya. Biarlah kehendakMu saja
yang jadi, dan bukan kehendakku.”
Saya pun tersentak mendengar suara saya
sendiri saat itu.
Iman saya pun bangkit.
Kekuatan saya menerobos bagaikan air
yang terlepas dari bendungan nya.
Beban terangkat seketika itu juga.
Kasih Tuhan pada kawan saya tersebut
memberi saya jawaban atas persoalan saya sendiri.
“Percayakan
hidupmu pada Nya, karena rancangan Nya adalah rancangan damai sejahtera yang
memberikan padamu masa depan yang penuh dengan harapan.”
“Tuhan
kita tidak pernah berubah. Dia yang dulu pernah menolongmu, akan menolongmu
lagi. Dia yang menyediakan tiang awan pada waktu siang dan tiang api pada waktu
malam di padang gurun bagi bangsa Israel, Dia juga yang akan memeliharamu.”
“Dia
bekerja di jalan yang tidak kita ketahui. Dia memberkati umatNya pada saat
mereka tidur.”
“Sehelai
rambut di kepalamu tidak akan jatuh tanpa Aku ketahui.”
“Sebab
beginilah firman Tuhan semesta alam, yang dalam kemuliaanNya telah mengutus
aku, mengenai bangsa-bangsa yang telah menjarah kamu - sebab siapa yang menjamah kamu berarti
menjamah biji mataNya.” Zakharia 2:8
Bagian tubuh kita yang bergerak reflek,
tanpa perintah dari otak kita dan tanpa kita sadari, adalah kelopak mata
kita.
Sekecil apapun debu yang terbang ke arah
mata kita, kelopak mata kita akan bergerak dan menutup dengan sendirinya, untuk
melindungi biji mata kita.
Kalaupun sang debu itu berhasil mengenai
mata kita, tanpa diperintah, kelenjar air mata akan memproduksi air mata yang
lebih banyak untuk membersihkan biji mata kita dan menyapu debunya ke pinggir.
Seperti kelopak mata yang menjaga biji
matanya, seperti itulah Tuhan menjaga kita !
Apapun kesalahan yang kita lakukan
terhadapNya, dosa apapun yang menghalangi kita masuk menikmati hadiratNya,
seberapa pun besar nya sakit hati Tuhan karena tingkah laku dan perbuatan kita,
secara reflek dan tanpa berpikir panjang, Tuhan
akan bereaksi dan bertindak melindungi kita.
KasihNya
tanpa syarat, tapi janjiNya bersyarat.
KasihNya ini lah yang membuat Dia tidak
dapat berpangku tangan saja melihat anakNya terancam.
Saudaraku,
Selama puluhan tahun, saya memiliki presepsi
yang salah pada sebuah ayat di perjanjian lama.
“
Dan Aku akan memberi damai sejahtera di dalam negeri itu, sehingga kamu akan
berbaring dengan tidak dikejutkan oleh apapun. Akulah Tuhan Allahmu yang
membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya kamu jangan lagi menjadi budak
mereka. Aku telah mematahkan kayu kuk yang di atasmu dan membuat kamu berjalan
tegak” Imamat
26 : 6 &13
Kata-kata “kamu akan berbaring dan tidak dikejutkan” mengingatkan saya pada
acara tutup peti di beberapa keluarga yang ditinggalkan orang yang mereka
kasihi. Yah, kematian. Apalagi kemudian, di ayat berikutnya, kayu kuk pun
disinggung oleh Musa sebagai penulis kitab ini.
Come
on !
Hidup ini adalah perjuangan, bagaimana
tidak ada kuk ? Hidup ini tidak lah ringan, karena Tuhan mendidik kita,
anak-anakNya kan?! Hidup ini berat !
Itu yang diajarkan oleh banyak hamba
Tuhan, bukan?!
Jadi, ayat itu pasti bicara tentang
kehidupan setelah kematian !! Bukan hidup sekarang, saat kita membaca buku ini
!
Puluhan tahun kemudian, Tuhan ijinkan
saya melihat kebenaran dari ayat ini, justru ketika saya merasa takut untuk
membuka mata pada esok hari karena banyaknya masalah dan musuh di sekitar saya,
sampai saya tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan saya.
Tuhan membawa saya ke satu titik di mana
saya tidak bisa lagi mengeluarkan air mata ketakutan atau keringat kekhawatiran
dan kecemasan, karena memang sudah kering !
Saya tidak bisa lagi lebih takut dan
khawatir dari saat itu, saya tidak dapat lebih cemas lagi dari hari-hari gelap
itu !
Saya hanya bisa bersyukur karena masih
dipercaya Tuhan untuk melakukan sesuatu di hari itu.
Saya hanya bisa memujiNya karena Tuhan
masih siapkan makan dan minum di hari itu untuk saya.
Saya hanya bisa menyembahNya dengan hancur
hati karena merasa tidak pantas untuk menerima semua kebaikan itu.
Tuhanku terlalu baik untuk ku !
Dan pada saat itulah, mata dan hati saya
menemukan kebenaran dari Imamat 26 di atas, yang bicara tentang penyertaan
Tuhan pada saat bumi masih menjadi pijakan kaki kita.
Ada damai sejahtera, sekarang, justru
pada saat saya punya seribu alasan untuk takut dan khawatir. Saya berbaring
tanpa merasa takut untuk bangun dan menghadapi para penagih itu ! Saya rasakan
langkah ringan walau beban tanggungjawab besar itu masih harus saya pikul.
Hidup ini bukan lah beban.
Hidup ini
tidak lah berat.
Hidup ini bukan lah perjuangan.
Hidup ini adalah anugrah.
Hidup ini
indah.
Hidup ini ringan.
Itulah kebenaran !
Itulah suara lembut
Tuhan.
Mampukah kita mendengar Suara LembutNya
sebelum kita menuntut jawaban dari Nya ?
“Aku di sini,
lebih dekat dari baju yang kau pakai,
lebih lembut dari angin yang mengusap kulitmu.
Bukalah pintumu,
dan Aku akan masuk untuk minum bersamamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar