Sabtu, 22 Desember 2018

Renungan Natal 2018

KETIKA YESUS LAHIR

NATAL, kelahiran Sang Juru Selamat, Raja Damai, Anak Domba Allah, Yesus Kristus, kembali ramai di minggu – minggu ini.

Sejarah dua ribu tahun lalu itu kembali kita buka. Dimulai dari kehadiran malaikat Gabriel di hadapan seorang perawan bernama Maria dari keluarga Daud di Nazaret, kembalinya keluarga Yusuf bersama tunangan nya ke kota asal mereka di Betlehem, sampai sujudnya orang-orang Majus kepada bayi Yesus dengan segenap persembahan mereka.

Nyanyian pujian dan penyembahan para gembala yang hadir pada saat itu dengan tuntunan bintang terang di atas kandang domba tempat kelahiran Yesus pun kembali terdengar.

Ada damai Natal. Ada sukacita Natal. Ada kegembiraan surgawi yang terasa hangat mengalir di sepanjang pembuluh darah kita.

Damai dan sukacita yang juga kita rasakan tahun lalu, dua tahun lalu, dan tahun tahun sebelumnya, ketika alunan lagu Malam Kudus terdengar.


Jari jemari ini pun menari di atas papan ketik untuk merangkai kalimat demi kalimat sebuah tulisan renungan Natal. Sama seperti tahun lalu. Rutinitas.

Sama seperti tahun lalu ? 
Rutinitas ? 
Penulis pun tersentak. 

Dan satu pertanyaan menyelinap lembut namun tajam.

Damai dan sukacita Natal ini begitu indah. Kenapa kita hanya bisa menemuinya setahun sekali di bulan terakhir sebelum tahun berganti? 

Damai dan sukacita Natal ini begitu menyejukkan, kenapa kita hanya merasakan satu hari saja selama setahun ini ? Kenapa tidak pada ketigaratusenampuluhempat hari lainnya?

Kita selalu menunggu hari ini untuk sekedar beristirahat dari penat kita sepanjang tahun, padahal Tuhan kita jelas-jelas berfirman,

“Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; 
jikalau ada orang yang mendengar suaraKu 
dan membukakan pintu, 
Aku akan masuk mendapatkannya 
dan Aku akan makan bersama-sama dengan dia 
dan ia bersama-sama dengan Aku.” 
( Wahyu 3:20 )



Tuhan kita, Yesus Kristus, senantiasa menunggu kita untuk membukakan pintu, senantiasa menunggu kita untuk mengijinkanNya lahir kembali di hati kita. 

Setiap saat, bukan setahun sekali. 

Agar sama seperti ketika kita merayakan kelahiranNya di malam Natal ini, kita pun bisa merasakan damai dan sukacita Natal ini, bukan hanya pada tanggal 25 Desember setiap tahunnya.

Bukankah itu merupakan sebuah anugerah yang luar biasa untuk kita, bila kita bisa merasakan damai dan sukacita Natal ini setiap hari sepanjang tahun dari tahun ke tahun ?

Damai dan sukacita yang hanya bisa kita rasakan ketika Yesus lahir di dalam hati kita.

Ada sebuah rahasia besar yang ingin Tuhan ungkapkan kepada kita pada Natal kali ini.


“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa Ku.” ( Yohanes 15:15 )

Menjelang kelahiranNya di Betlehem, Tuhan telah menyiapkan tokoh-tokoh pilihanNya.

Menjelang kelahiranNya di dalam hati kita, Tuhan pun ingin kita memiliki hati seperti mereka, agar Dia bisa lahir di sana, setiap hari, dalam setiap helaan napas kita.

1. Hati yang tidak membantah, seburuk apapun keadaannya, seperti hati sang perawan terpilih Maria.

Hamil sebelum nikah masih dianggap sebuah aib untuk beberapa kalangan di abad ini. Terbayangkah 
bagaimana perasaan Maria di dalam lingkungan yang taat kepada agamanya saat itu ?

Keadaan yang tampak buruk  itu hanya menimbulkan sebuah pertanyaan, “Bagaimana mungkin?”
Bukan Mengapa.
Mengapa bukan orang lain saja yang harus menghadapi keadaan ini ?
Mengapa harus aku ?

Sebaliknya dia hanya berkata, “Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” ( Lukas 1:38 )



Sama seperti doa Yesus di taman Getsemani, 

" Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." ( Matius 26:39 )

Biarlah Seperti Yang Engkau Kehendaki menjadi denyut nadi kekristenan kita,  mulai Natal tahun ini.

Bukan lagi cawan yang berlalu, karena tanpa cawan itu,  nama Yesus tidak akan pernah dipermuliakan. 

Tanpa cawan yang harus diminum Yesus saat itu,  tidak akan ada  kekristenan.  
Tanpa kekristenan,  sia sia lah iman kita. 

Dan bila iman kita sia sia,  kita bukan lagi orang orang pilihan Nya.

1 Korintus 15:14 (TB)  Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.


2. Hati yang mau mendengarkan suara Tuhan, dan bukan keinginannya sendiri, seperti hati Yusuf.

Mendengar kehamilan calon istrinya,  Yusuf ingin menjaga nama baik istrinya di depan umum dengan menceraikan nya secara diam-diam, namun Tuhan berkehendak lain. Dan Yusuf mendengarkanNya.

“Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya.” ( Matius 1 : 24  )

Seringkali suara Tuhan tertutup oleh suara-suara yang ada di sekitar kita, suara-suara yang hanya merenggut damai sejahtera dan sukacita di hati kita.

Suara-suara bernuansa politik, ekonomi, medis, perdagangan global, persaingan bisnis, perang dan bencana, selalu terdengar setiap kali kita membuka media sosial. 

Berita-berita negative, hoax dan rumor yang sia-sia. 

Ketakutan dan kekhawatiran.

Yusuf mampu melawan semua suara itu dan hanya mendengarkan suara Tuhan yang penuh damai dan sukacita.



Mengenal Tuhan dengan benar, membuat kita mampu menutup telinga kita terhadap suara suara yang ingin merenggut damai dan sukacita Natal dari hati kita.

Bukankah Dia adalah kota benteng kita?
Menara perlindungan. 
Allah yang menyembuhkan. 
Allah yang mencukupi. 
Panglima perang kita. 
Sang Damai.
Raja di atas segala raja. 
Bapa yang baik. 
Sahabat yang setia. 
Dokter yang ajaib. 
Mata Air kehidupan.


Ingatlah akan kekecewaan Tuhan pada kita :

"Jawab-Nya kepada mereka: 
"Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! 
Sebab ada tertulis: 
Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, 
padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 
Percuma mereka beribadah kepada-Ku, 
sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.
( Markus 7:6-7 )



3. Hati yang penuh hikmat seperti hati orang Majus. ( Matius 2:1-12 )

Orang-orang Majus ( dari bahasa latin : magus ) adalah orang-orang bijak dan raja-raja dari Timur yang mengenal astrologi dengan segala ramalan nya. 

Mereka menggunakan hikmat mereka ketika membaca kitab yang ditulis Mikha pada jaman raja-raja Yehuda.

“Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, daripadamu akan bangkit bagi Ku, seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” ( Mikha 5:2 )


Hati yang penuh hikmat ini lah yang mampu meneliti dengan gamblang ajaran Yesus kepada murid-murid Nya, kepada kita, kepada saudara dan saya, ketika Dia menjelaskan tentang hukum yang terutama di dalam hukum Taurat.

“Jawab Yesus kepadanya : 
Kasihilah Tuhan, Allahmu, 
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu,
 dan dengan segenap akal budimu, 
Itulah hukum yang terutama dan utama. 
Dan hukum yang kedua, 
yang sama dengan itu ialah : 
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 
( Matius 22:37-39 )

Sudahkah kita mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri ?

Sudahkah kita memikirkan sesama kita ketika kita melakukan hal hal yang juga tidak kita inginkan diperlakukan kepada kita sendiri?

Penghakiman.
Tuduhan.
Pencemaran nama baik.
Penipuan.
Dusta.
Perampasan hak.

Sebaliknya,  sudahkah kita memikirkan sesama kita ketika kita tidak melakukan hal hal yang juga sebenarnya kita inginkan diperlakukan kepada kita sendiri?

"Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku."  (  Matius 25:45 )


4. Hati yang penuh kekaguman, seperti hati para gembala yang datang ke kandang untuk menyembah Yesus.

Ketika para gembala itu melihat bayi Yesus yang dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan, persis seperti yang dikatakan para malaikat kepada mereka, mereka tidak dapat menahan mulut mereka untuk tidak menceritakannya kepada orang lain, karena kekaguman mereka yang luar biasa terhadap Sang Raja ini.

“Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.”( Lukas 2:20  )


Hati yang penuh damai dan sukacita 
akan dirasakan orang di sekitar kita.
 
Hati yang kagum akan kebesaranNya 
akan membuka mulut kita untuk bersaksi.


Sudahkah kita bersaksi untuk Nya hari ini?
Sudahkah kita menceritakan berkat Tuhan yang kita terima  hari ini? 

Betapa indahnya 
kelihatan dari puncak bukit-bukit
kedatangan pembawa berita, 
yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, 
yang mengabarkan berita selamat 
dan berkata kepada Sion: 
"Allahmu itu Raja!"
( Yesays 52:7 )


Maria, Yusuf, orang-orang Majus, dan para gembala selalu ada di setiap perayaan Natal, karena mereka memiliki hati yang diperlukan untuk kelahiran Sang Juru Selamat.

Biarlah damai dan sukacita Natal bukan hanya bisa kita rasakan pada hari ini, satu hari dalam setahun. 

Namun juga di sepanjang hidup kita, hari lepas hari, dari satu helaan napas ke helaan napas berikutnya, sampai Maranatha, Tuhan datang untuk kedua kalinya.

Tidak ada lagi ketakutan. 
Tidak ada lagi kekhawatiran. 
Tidak ada lagi kecemasan.


Damai sejahtera dan sukacita belaka, 
apapun keadaan yang kita hadapi saat ini, 
di mana pun Tuhan menempatkan kita hari ini. 

Padang gurun kah? 
Gagal panen kah ? 
Di tengah badai kah ?

Hanya dengan satu syarat : 
mengijinkan Yesus lahir setiap hari 
di dalam hati kita yang 
berserah seperti Maria, 
mendengarkan suara Tuhan seperti Yusuf,
penuh hikmat  seperti orang Majus,
dan kekaguman kepada Dia Yang Maha Tinggi, 
seperti hati para gembala

Yesus hadir di hati kita. 
Kepada siapa kita harus takut ?



SELAMAT NATAL 2018

TUHAN YESUS MEMBERKATI

Rabu, 24 Januari 2018

Seandainya Tuhan mengerti keadaan ku

Kalau Yesus ada di posisi ku, apa yang akan DIA perbuat ?

Pertanyaan itu menyelinap di dalam hati kecil ini ketika penulis berada di dalam satu kondisi di mana sebagai manusia yang hidup dalam darah dan daging, penulis mengalami tekanan yang luar biasa. 

Ditinggalkan, pengkhianatan, pemberontakan, perampasan, penghinaan, penghakiman, yang semuanya itu membawa penulis ke satu titik terendah : “Ambil nyawaku, tapi jangan RohMu ya Tuhan”, karena penulis tahu persis, di dalam Roh Nya tercipta hadiratNya, dan di dalam hadiratNya ada penghiburan, ada pengharapan, ada sukacita, ada damai, ada kemenangan, ada pembelaan, ada kasih.

Tuhan membawa penulis ke satu titik, di mana penulis bukan hanya diajak untuk melihat apa yang BISA DIA perbuat untuk kita, namun apa yang HARUS kita perbuat untuk menyenangkan hatiNya.

“Bentuklah aku agar menjadi serupa sepertiMu, Yesus.” Bukan kah itu kerinduan kita?
“Yesusku, kalau Engkau ada di posisi ku, apa yang akan Kau lakukan ?”



Pertanyaan ini adalah cermin kekristenan kita, karena hanya Tuhan kita yang turun ke bumi, dan menjadi sama seperti kita. Lahir di kandang domba, mengalami masa kanak-kanak sebagai anak tukang kayu, memenuhi panggilan Nya di usia dewasa, dan harus mengalami kematian. Sama seperti kita, manusia berdosa ini. Itulah 33 tahun masa-masa di mana Tuhan kita, khalik langit dan bumi ini, menjejakkan kaki nya ke bumi, berjalan di antara kita, makan bersama kita, kehujanan dan kepanasan bareng kita, bertumbuh dan belajar seperti kita.

Perbedaan terbesar Yesus dengan manusia berdosa adalah Sikap Nya, khususnya ketika menghadapi penderitaan yang paling mengerikan dalam sejarah planet ini, yaitu penyalibanNya.




“Yesusku, kalau Engkau ada di posisi ku, apa yang akan Kau lakukan ?”

Yang akan Dia lakukan tercermin di dalam 10 perkataanNya dalam perjalanan Nya menuju salib kematianNya.

1.    Bersekutu dengan saudara seiman.

“Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” ( Matius 26 : 38 )

Membayangkan posisiNya saat itu, penulis meneteskan air mata.
Seorang guru yang luar biasa, motivator legendaris, dokter yang ajaib, sahabat yang dicintai banyak orang, teman yang ditunggu ribuan kaum lelaki dan perempuan, pembela kaum lemah dan tertindas, kehilangan semangatNya untuk sesaat ketika menyadari penderitaan yang akan Dia hadapi sekian jam kemudian.

Sepedih apakah penderitaan yang menantiNya saat itu sehingga Dia merasa sangat sedih, merasa mau mati, bahkan merasa memerlukan sahabat ?

Dia sudah mengalami saat-saat itu sebelum kita semua mengalaminya, bahkan sebelum kita berpikir bahwa kita akan mengalami semua penderitaan kita.

Dan sang Putra Allah itu pun meminta beberapa sahabat untuk menemaniNya.


Bersekutu dengan saudara seiman, tidak menarik diri dari komunitas orang percaya, tanpa merasa malu dengan keterpurukan yang sedang kita alami saat ini, merupakan langkah awal untuk menghadapi badai dalam kehidupan kita.

Lupakan kesombongan rohani kita, karena Bapa kita mendidik setiap anak yang dikasihiNya.

“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” ( Matius 18 : 20 )

Itulah langkah awal Yesus dalam menghadapi penderitaanNya. Itulah yang pertama kali Yesus lakukan bila berada di posisi kita.

2.    Penyerahan Total.

“Ya Abba ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagiMu. Ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” ( Markus 14 : 36 )

Keempat Injil mencatat betapa Yesus menginginkan untuk tidak meminum cawan itu hingga Ia memohon sampai tiga kali kepada BapaNya.

-         “Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya : Ya BapaKu, sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaKu, tetapi janganlah seperti yang Ku kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” ( Matius 26 : 39 )
-         “Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kataNya : Ya BapaKu, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu” ( Matius 26 : 42 )
-         “Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk yang ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga” ( Matius 26 : 44 )

Begitu pahitnya cawan itu sehingga kemanusiaan Yesus berharap untuk dijauhkan darinya.



“Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa, PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan di tanah” ( Lukas 22 : 44 )

Seringkali kepahitan dan tekanan yang kita alami membuat kita memaksakan kehendak kita sendiri. Tuhan bagaikan tukang mujizat yang bisa kita perintah. 

Kegelapan membutakan kita sehingga kita tidak dapat melihat rencanaNya. 

Kekhawatiran dan ketakutan membuat kita membuat deadline sendiri yang kita sodorkan kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi.

Ketika tanda-tanda badai sudah terasa, di saat awan gelap dan tebal sudah terlihat, dan hembusan angin semakin kencang, kita pun berteriak, “Tuhan……. Jauhkan badai itu daripadaku. Belokkan anginnya, sekarang !”

Mampukah kita berdoa, “Tuhan, sekiranya mungkin, hindarkan badai itu dari laju perahu ku, bukan seperti kehendakku, melainkan sesuai dengan KehendakMu saja,” seperti yang dilakukan Yesus dalam posisi kita ?

Ketika penyerahan total itu kita lakukan, Bapa di Surga tidak tinggal diam.
“Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya” ( Lukas 22 : 43 )




3.    Diam dan tidak melawan.

“Kata Yesus kepata Petrus : Sarungkanlah pedangmu itu. Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepadaKu?”  ( Yohanes 18 : 11 )

Ketika kita dihakimi oleh teman, sahabat, bahkan oleh orang terdekat kita, terkadang kita merasa perlu membela diri kita kan?! Ada perasaan nyaman ketika beberapa orang berpihak ke kita dan berkata, “Kamu benar. Dia yang salah.”  Bila kita tidak membela diri kita, semua orang pasti akan menyalahkan kita, dan kita pun akan ditinggalkan sendiri ! Betapa menyakitkannya keadaan itu.

Dan itulah yang dilakukan Petrus, sahabat Yesus.

Walaupun lidah dan bibir kita lantang berteriak, “Tuhan adalah pembelaku,” kemanusiaan kita memaksa kita untuk membuka mulut dan membela diri. Tapi kemanusiaan Yesus beda ! Dia diam!

“Dia dianiaya, tetapi Dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian, seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” ( Yesaya 53 : 7 )


Yesusku…. Mampukan aku untuk menutup mulutku …..

4.    Memikirkan Orang Lain.

“Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu. ( Lukas 23 : 28 )”

Ketika kita kehilangan pekerjaan, sangatlah manusiawi bila kita kemudian berpikir tentang langkah-langkah apa yang akan kita ambil untuk hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya. 

Bukan hanya masalah ekonomi. Namun juga masalah kebosanan dan kejenuhan. 

Selama sekian puluh tahun, hari-hari yang kita lalui cukup menyita waktu kita. Dari pagi, siang, sore, bahkan ke malam. Begitu sibuknya, hingga tanpa terasa tahun yang baru sudah memasuki bulan ke tiga, ke enam, ke delapan, dan malam tahun baru lagi.

Namun ketika semua kesibukan itu terenggut, hari-hari seperti apa yang akan kita lalui ?
Setelah makan pagi, menunggu waktu makan siang, tidur siang, dan menunggu waktu malam ?
Sungguh menyiksa.

Memikirkan hari-hari seperti itu saja kadang kita tidak sanggup, sehingga kita akhirnya berencana untuk mencari kesibukan pasca pemutusan hubungan kerja kita. Beberapa orang berpikir untuk membuka bisnis. Beberapa lagi memutuskan untuk menyibukkan diri nya dengan hobby yang jarang mereka lakukan di masa produktif . Akhirnya kita sibuk memikirkan diri kita sendiri.

Kita lupa berpikir apakah satpam di komplek perumahan kita sudah membayar uang sekolah anaknya. Atau apakah tukang sampah sudah makan pada hari itu. Apakah pembantu di rumah kita sudah sembuh dari sakit pinggangnya. Kita lupa mendoakan dan berbuat sesuatu untuk mereka. Bahkan kita lupa berpikir tentang pekerjaan Tuhan !





Kemanusiaan Yesus sanggup melakukannya ! Kemanusiaan Yesus dapat mengesampingkan pikiran tentang DiriNya sendiri ! Pikiran Nya dipenuhi oleh penderitaan puteri-puteri Yerusalem, Dia ingat akan masalah yang dihadapi sahabat-sahabatNya ! Tidak ada ruang di dalam hati dan pikiranNya saat itu untuk DiriNya sendiri.

Itulah yang Yesus lakukan ketika Dia berada di posisi kita !

5.    Melepaskan doa pengampunan bagi mereka yang menyebabkan penderitaan kita.

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34)

Satu hal yang paling sulit adalah pengampunan, apalagi pengampunan kepada mereka yang mengkhianati kita, yang menusuk kita dari belakang, yang menipu kita, yang membuat kita kehilangan semua yang kita miliki.

Gara-gara dia, aku kehilangan pekerjaan. Gara-gara aku bantu dia, aku kehilangan teman. Gara-gara dia…… gara-gara dia….. gara-gara dia…… Manusiawi kah ? Sangat manusiawi ! Manusiawi bagi mereka yang masih hidup di dalam darah dan daging.

Tapi bagi seorang manusia bernama Yesus, yang telah menjadi manusia Roh, sikap Nya sungguh berbeda !

Walau yang mengkhianati Nya adalah murid Nya sendiri yang makan dan minum bersama denganNya setiap hari selama tiga tahun, walau yang berteriak meminta penyalibanNya adalah mereka yang mengalami mujizatNya, yang dicelikkan matanya, yang disembuhkan kustanya, yang diampuni dosanya, yang diterimaNya tanpa syarat, yang diberiNya makan dengan lima roti dan dua ikan, yang dilepaskanNya dari ikatan dosa…

Doa pengampunan itu dipanjatkanNya justru ketika Dia sedang tergantung antara bumi dan langit, dengan paku yang sedang menembus tangan dan kaki Nya, dengan mahkota duri ke kepalaNya, dengan luka di sekujur tubuhNya  !

Doa pengampunan itu ditujukanNya untuk mereka yang melakukan itu kepadaNya !!




“Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan.” ( Matius 26 : 24 )

Yesus sadar penderitaanNya adalah kehendak Bapa Nya yang di Surga. Skenario dari Sang Pencipta harus dijalankan. HARUS !  Tidak perduli siapa yang akan mengeksekusinya, apakah orang Romawi atau orang Yahudi, Anak Manusia harus disalibkan ! Itu lah visi Nya ketika datang ke dunia ini. Hanya Visi itulah yang memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap penderitaanNya itu. Bukan tentang siapa yang akan mengkhianatiNya.


Penderitaan yang kita alami memang harus terjadi. Kerugian memang harus kita lalui. Kesulitan memang harus kita hadapi. Ujian memang harus kita kerjakan. Karena itulah scenario Tuhan buat kita untuk belajar, dan, meminjam istilah hamba-hambaNya, naik tingkat. Agar kita bisa menjadi SaksiNya, agar kita bisa melihat pekerjaan TanganNya, agar kita bisa menjadi seperti Yesus.

Semua adalah RencanaNya.

“Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus : Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini ? Jawab Yesus : Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau : Ikutlah Aku.” ( Yohanes 21 : 21-22 )

Mampukah kita menjadi manusia Roh, seperti Yesus ? Mampukah kita mengikut Yesus tanpa ikut campur dengan urusan orang lain dengan Tuhan nya ?

6.    Tetap tenang.

“Ketika Yesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibuNya : Ibu, inilah anakmu. Kemudian kataNya kepada muridNya : Inilah ibumu. Dan sejak saat itu, murid itu menerima dia di dalam rumahnya.” ( Yohanes 19 : 26-27 )

Sikap tenang Yesus tercermin dari pendelegasian yang Dia lakukan ketika tergantung di kayu salib. Sikap tenang ini yang membuat Yesus mampu mengambil keputusan bijak ketika melihat ibu dan murid Nya sehingga ibuNya tidak ditinggalkan seorang diri di masa tua nya.

Seringkali, keputusan yang kita ambil pada saat panik, takut atau khawatir, malah semakin memperburuk keadaan. Karena bagaimanapun, iman harus diikuti dengan perbuatan. 

Bisakah kita tetap tenang di tengah badai karena kita yakin Yesus ada bersama kita di perahu kita ?




“Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakuinya sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?” ( Yakobus 2 : 20 )

7.    Menjaga tubuh jasmani.

“Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia : Aku haus” ( Yohanes 19 : 28 )

Bagi kebanyakan orang, banyak nya penderitaan membuat mereka kehilangan semangat. Bahkan untuk makan dan minum pun, mereka tidak memiliki keinginan lagi. Tidak heran, seringkali kita bisa melihat seorang teman dalam penderitaan ketika kita sadar mereka kehilangan berat badan mereka.

Bagi sebagian orang, justru makan dan minum lah yang menjadi pelampiasan mereka untuk melupakan penderitaan mereka. Beberapa orang membenamkan diri mereka di dalam minuman keras, demi mendapatkan kesempatan untuk menikmati hidup mereka di tengah tengah penderitaan mereka.

Manusia yang terdiri dari darah dan daging ini memang lemah. Saking lemahnya, beberapa bahkan menjadi gila karena banyaknya tekanan dan masalah. Mereka kehilangan akal mereka. Mereka kehilangan pikiran mereka. Mereka kehilangan diri mereka sendiri !




Bagi Yesus, tidak menjadi gila saja tidak cukup. Yesus bertindak.
Yesus melakukan sesuatu untuk jasmani Nya, meninggalkan teladan bagi kita.

Ketika banyak tekanan di dalam hidup ini, sempatkah kita menyisihkan waktu untuk keluar dari kamar dan melakukan hobby kita ? Sempatkah kita melakukan kegiatan fisik untuk jasmani kita ?


8.    Proklamasi kan Nama Nya

“Dan pada jam tiga, berserulah Yesus dengan suara nyaring : Eloi, Eloi, lama sabakhtani?, yang artinya : Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku ? ” ( Markus 15 : 34 )

Bahkan di dalam penderitaanNya, Yesus berseru dengan suara nyaring memanggil BapaNya. Berseru dengan suara nyaring, bukan berbisik di dalam kamar yang tertutup. Agar mereka yang tidak percaya dapat mendengar dan melihat demonstrasi Allah Yang Maha Agung terjadi lewat penderitaan Nya, dan berkata “…….. Sungguh, orang ini adalah Anak Allah.” ( Markus 15 : 39 )

Di dalam penderitaan kita, banyak orang hanya menunggu dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya pada mereka yang mengaku dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan. Datangkah pertolongan dari Tuhan nya ? Benarkah Tuhan nya hidup ? Benarkah Tuhan nya berkuasa ?

Darah dan daging kita terkadang tidak mampu lagi untuk bertahan, sehingga beberapa orang kemudian datang sebagai “Malaikat Penyelamat” yang menawarkan bantuan lewat ilah lain. Dan justru pada saat ini lah, waktu nya bagi kita untuk menantang mereka dengan berani berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal , supaya barang siapa yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” ( Yohanes 3 : 16 )

Mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan belumlah cukup. Dibutuhkan kepercayaan di dalam hati kita juga. Dan kepercayaan itu lah yang dilihat banyak orang.

Mereka menunggu untuk melihat mujizat yang akan terjadi dalam kehidupan kita, mujizat yang dilakukan oleh Dia yang NamaNya selalu mereka dengar dari seruan  kita, Yesus Kristus, Tuhan kita, Allah pencipta langit dan bumi yang telah menjadi manusia untuk mereka juga.

Dibutuhkan manusia Roh untuk dapat berseru memanggil NamaNya justru di saat seakan-akan Dia tidak perduli lagi.

9.    Bangga dengan penderitaan kita.

“Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia : Sudah selesai. Lalu Ia menundukkan kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya.” ( Yohanes 19 : 30 )

Akhirnya, dengan rasa bangga Yesus menyelesaikan penderitaanNya. Dengan rasa bangga, Dia menyerahkan NyawaNya. Dengan rasa bangga, Yesus pun kembali kepada Bapa Nya, karena Dia tahu, Dia telah melaluinya sesuai dengan kehendak Bapa Nya dengan sempurna, karena Dia tahu  ada kemuliaan yang disediakan BapaNya setelah semua penderitaanNya berakhir, karena Dia tahu, kemanusiaanNya melampaui kemanusiaan duniawi.


Bagaimana dengan kemanusiaan kita ?

Bisakah kita bangga dengan penderitaan yang kita alami saat ini dengan berkata “Aku dipilih Tuhan untuk melalui ujian ini, karena Dia ingin memakai aku lebih heran lagi.” ?

Manusia Yesus adalah satu-satunya orang di muka bumi ini yang mengalami penderitaan yang luar biasa, mulai dari ketakutanNya di Taman Getsemani, ciuman pengkhianatan seorang sahabat,  tuduhan yang dilontarkan kepadaNya, penyangkalan murid yang bersama dengan Dia selama bertahun-tahun dan melihat KuasaNya, sahabat yang bersembunyi dan lari meninggalkanNya, deraan tiga mata kail di punggungNya sebanyak tiga puluh sembilan kali cambukan, mahkota berduri di kepalaNya, paku sepanjang 20 cm yang menembus tangan dan kakinya, tergantung di antara bumi dan langit selama tiga jam, yang justru dilakukan oleh mereka yang telah mengalami kuasa kasihNya !

Dan Dia merasa bangga dengan semuanya itu.
“Aku berkata kepadaMu : Sesungguhnya ketika engkau masih muda, engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak engkau kehendaki” ( Yohanes 21 : 18 )
Puji Tuhan !!
Berbanggalah kita untuk dapat datang ke tempat yang tidak kita kehendaki, dengan dibawa Tuhan ke dalam penderitaan dan penganiayaan ini, karena kita sudah dianggap cukup umur ! Kita dianggap lebih dewasa dibandingkan orang lain ! Seperti layaknya seorang putra mahkota yang dididik oleh ayahnya untuk menerima tanggungjawab besar sebagai penerus tahta.
Adakah yang lebih membanggakan daripada keadaan tersebut ?

10.          Memahami lamanya penderitaan.

“Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku.” ( Yohanes 16 : 16 )



Pemahaman akan lamanya penderitaan ini yang mampu membuat kemanusiaan Yesus menerima semua penganiayaan itu. Tidak lama lagi. Hanya sesaat. Cuman sebentar. Dan kemuliaan akan diberikan pada dia yang mampu mematikan kemanusiaan nya, sama seperti yang dilakukan Yesus.


“Yesusku, kalau Engkau ada di posisi ku, apa yang akan Kau lakukan ?”

Dan Dia pun menjawab  :
1.    Bersekutu Dengan  Sahabat  Seiman
2.    Penyerahan Total pada Kehendak Bapa
3.    Diam dan Tidak Melawan
4.    Memikirkan Orang Lain
5.    Melepaskan Pengampunan
6.    Tetap Tenang
7.    Menjaga Tubuh Jasmani
8.    Memproklamasikan NamaNya
9.    Merasa Bangga Dengan Penderitaan
10.                       Memahami Lama nya Penderitaan


“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu. Aku telah mengalahkan dunia.” ( Yohanes 17 : 33 )





Senin, 22 Januari 2018

Mereka Bilang Engkau Ada

Saya mengenal seorang wanita cantik yang memiliki kehidupan di atas rata-rata wanita kebanyakan. 
Suami yang mengasihi, pelayan gereja yang aktif, fasilitas yang mendukung, agenda perjalanan ke tiga benua setiap tahun, komunitas yang menghargai, namun tidak dikaruniai anak.
Berbagai usaha telah dilakukan. Tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkannya.
Pujian dan doa, sebagaimana yang diajarkan di kelas melayani, merupakan santapan, makan siang dan makan malam pasangan ini. Bahkan merupakan teman minum teh pula.
Iman perempuan ini sanggup membuat mereka berteguh hati dan menyatakan agar kehendak Tuhan saja yang jadi. Biarkan Tuhan yang membuat semua nya indah pada waktu Nya.
Memasuki tahun ke sepuluh kehidupan pernikahan mereka, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi lelaki. 
Sebuah pergumulan yang luar biasa bagi wanita ini, yang mempertaruhkan iman nya kepada Dia yang Maha Kuasa, yang menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, Dia, yang dikenalnya dengan nama Tuhan Yesus Kristus.
Ketika si anak berusia 14 tahun, entah bagaimana, dia menyadari bahwa orang tua yang selama ini dikenalnya bukanlah orang tua kandung nya. Dia pun mempertanyakan hal tersebut kepada ibu angkatnya.
Sang ibu, dengan kebesaran hatinya pun berjanji untuk mempertemukan anak itu dengan wanita yang melahirkannya di ulang tahunnya yang ke 17, walau ada resiko yang mungkin terjadi, yaitu kehilangan anak semata wayang nya.
Tiga tahun lamanya, wanita ini bergumul dengan dirinya sendiri.
Tiap hari, di dalam doa nya dia mohon kekuatan yang dari pada Nya saja, sebelum dia menerima kenyataan adanya kemungkinan si anak memilih tinggal bersama orang tua kandungnya. Ketaatan sang putra membuatnya semakin teguh, dengan keyakinan dirinya tidak akan dilupakan dan ditinggalkan di masa tuanya.
Namun di malam ulangtahun ke 17 nya, sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa anak muda ini, tepat sehari sebelum dia bertemu dengan wanita yang melahirkannya.

Dan hati wanita cantik ini pun memberontak.
Ingatannya melayang ke 17 tahun lalu, ketika ia menyerah untuk meminta kehamilan, dan memutuskan untuk mengadopsi seorang bayi.
Hanya melalui anak ini, Tuhan nya, Yesus Kristus, yang NamaNya diserukannya di setiap helaan napasnya selama lebih dari tiga decade, yang dia yakini merupakan alamat yang tepat ketika dia beseru, Ya Abba ya Bapa, hanya berdiam diri !
Kemarahannya membuat nya mempertanyakan kepercayaan nya sendiri.
Kekecewaan membuat dia meragukan keadilanNya.
Rasa sakit dan pedih di hatinya melahirkan keragu-raguan atas kehadiranNya.
Benarkah Engkau ada dan hidup ?
Sungguh kah Engkau adalah Kasih ?
Penderitaan demi penderitaan ini kah yang Kau sebut Kasih Mu pada ku ?
Saudaraku,
Kadang perahu kehidupan kita pun dibawa Tuhan ke dalam badai.
Kata-kata “Badai pasti berlalu” terdengar bagai lagu pengantar tidur di saat-saat seperti itu.
Dan ketika kita terbangun kembali, pertanyaan-pertanyaan itu pun kembali mengusik kita.
“Apa mau Mu, Tuhan?”
“Kenapa aku, Tuhan ?”
“Bagaimana aku sanggup melaluinya, Tuhan ?”
“Di mana Engkau, Tuhan ?”
Sebelum Tuhan menjawab, karena Tuhan pasti akan menjawabnya, ada baik nya kita mempersiapkan diri kita dan balik bertanya, sudah siapkah kita mendapatkan jawaban Nya ?
Yah, jawabanNya, kata-kataNya, firmanNya, bukan kata hati nurani kita sendiri, bukan kata darah dan daging kita sendiri, bukan kata pikiran kita sendiri, bukan kata perasaan kita sendiri.
Suara Tuhan tidak akan terdengar bagai petir yang menggelegar. Kata-kataNya tidak akan sejelas suara yang ditimbulkan oleh pengeras suara berskala raksasa yang mampu menjangkau ribuan orang di arena balap mobil international. Bahkan SuaraNya tidak sekeras volume televisi di ruang keluarga kita.
Tidaklah mengherankan bila suara Nya terkalahkan oleh suara – suara dunia, yang ramai dibicarakan via beragam media, mulai dari berita di suratkabar, televisi, sosial media, broadcast  di dalam berbagai group chat di dalam genggaman kita dari waktu ke waktu.
Harga yang semakin tinggi.
Kebutuhan yang semakin besar seiring bertambahnya usia anak-anak.
Lapangan kerja yang semakin sempit. Jumlah sarjana yang bertambah dari tahun ke tahun.
Angka pengangguran yang semakin meningkat.
PHK di mana-mana.
Krisis ekonomi di banyak negara maju yang membawa dampak global.
Perceraian bukan lah hal yang memalukan lagi. Kenakalan remaja bukan barang baru.
Kehamilan di luar nikah, pernikahan dini, aborsi, teman tapi mesra, apapun itu namanya, perselingkuhan, bagaikan singa yang mengaum dan siap menerkam mangsa nya yang lengah. 

Keresahan dan kekhawatiran melanda keluarga, bukan hanya para orangtua, namun juga putra-putri mereka.
Sementara di sektor kesehatan, para pengusaha minuman kesehatan justru meracuni kita dengan sejuta ketakutan akan bahaya kencing manis, kolesterol, gagal ginjal, serangan jantung, darah tinggi, kanker, dan setumpuk penyakit lainnya. Rambu-rambu pun di pasang untuk membatasi gerak kita. Hindari ini, jangan makan itu, perbanyak yang ini…… Lengkap dengan ancaman hukuman bila peraturan itu dilanggar : kematian.
Dan buah pohon pengetahuan baik dan buruk itu pun termakan oleh setiap kita.
Sejarah Taman Eden pun terulang kembali.


Sebelum manusia pertama memakan buah pengetahuan baik dan buruk itu, kita telah diberi kuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan atas segala binatang melata. Bahkan kita diberi kuasa untuk menaklukkan bumi.
Dan ketika kita menerima semua informasi negative tersebut, kita pun termakan oleh pengetahuan.
Kedamaian, sukacita surgawi dan kuasa Nya pun terampas dari kita.
“Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia : jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia” Kolose 2 : 20 - 22
Saudaraku,
Ketika kita menuntut jawaban Tuhan, pada waktu bersamaan, kita pun di tantang untuk mempersiapkan diri kita untuk mendapatkannya.
Apakah kita benar-benar menginginkan jawaban Tuhan atau hanya pelampiasan amarah kita semata ?
Mampukah kita mendengar suara lembut Nya ?
Bisa kah kita menutup telinga kepada suara-suara lain selain suaraNya ?
SuaraNya adalah damai sejahtera, SuaraNya adalah sukacita, SuaraNya adalah pengampunan, SuaraNya adalah kelemahlembutan, SuaraNya adalah kasih.
Bukan ketakutan, bukan kekhawatiran, bukan amarah, bukan kekecewaan, bukan keputusasaan, bukan penderitaan.
Dari pegunungan tertinggi sudah diteriakkan. Di tempat yang paling rendah, bisikannya terdengar. Dan melewati semua koridor pengalaman manusia, kebenarannya sudah didengungkan. Namun siapa yang mendengarkannya ?
Ocehan burung di pagi hari, gemuruh ombak di pantai, desiran angin gurun, nyanyian jangkrik mengiringi malam. Dan ribuan hari yang telah kita lalui sepanjang hidup kita.
Dari hari ke hari, minggu ke bulan dan ke tahun, di setiap akhir hari, berbagai perasaan mengiringi langkah kita ke peraduan. 
Seringkali Tuhan kita tertutup oleh banyak dan besarnya masalah.


Kadang kita mempersiapkan istirahat kita dengan senyum kebahagiaan, rasa puas, bangga, semangat untuk memulai hari berikutnya.
Alarm dipasang agar kita tidak terlambat bangun esok hari, Berbagai keperluan untuk esok sudah kita siapkan di tempat yang mudah dilihat begitu mata terbuka. Tidak ada yang boleh terlewatkan!
Setelah menutup doa kita dengan Amin, bahkan kadang semangat kita pun tidak mampu membuat mata lelah untuk beristirahat.
Namun di hari lain, tangisan dan jeritan hati kita menemani kita menutup hari itu.
Berbagai persoalan yang belum terselesaikan, masalah yang semakin besar, jalan yang sudah buntu.
Ada ketakutan, ada amarah, ada kekecewaan, ada kekhawatiran.
Bahkan kadang, kita pun berharap hari esok tidak pernah datang.
Kita berharap tidak akan pernah bangun lagi, karena bila kita membuka mata kita esok hari, masalah besar itu tetap ada di sana.

Suatu hari, seorang kawan pernah datang berkunjung dengan masalah uang sekolah anaknya. Dia begitu ketakutan, mengingat anak tunggal nya itu adalah satu-satunya harapan nya untuk mengangkat kehidupan mereka. Khawatir anak nya tidak bisa melanjutkan sekolah,  yang berarti hidup mereka pun selesai. Tidak ada harapan akan masa depan yang lebih baik.
Saya menatap nya dalam diam.
Dalam hati saya pun menangis, karena saat itu, saya bahkan tidak tahu apa yang bisa saya makan, sementara kewajiban saya sebagai orang tua di minggu itu sepuluh kali lebih besar dari pada masalah kawan tersebut.
Dan justru di dalam diam itu lah, suara Tuhan jelas terdengar.
Kata demi kata memberondong dari lidah dan bibir saya tanpa sanggup saya bendung, yang kemudian mengalir dengan bebasnya.
 “Percaya saja pada Tuhan kita. Lebih dari sekedar percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, karena iblis pun tahu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan mereka gemetar. Percayakan hidup kita padaNya, percayakan hari esok padaNya, percayakan perjalanan kita padaNya. Biarlah kehendakMu saja yang jadi, dan bukan kehendakku.”
Saya pun tersentak mendengar suara saya sendiri saat itu.
Iman saya pun bangkit.

Kekuatan saya menerobos bagaikan air yang terlepas dari bendungan nya.
Beban terangkat seketika itu juga.
Kasih Tuhan pada kawan saya tersebut memberi saya jawaban atas persoalan saya sendiri.
“Percayakan hidupmu pada Nya, karena rancangan Nya adalah rancangan damai sejahtera yang memberikan padamu masa depan yang penuh dengan harapan.”
“Tuhan kita tidak pernah berubah. Dia yang dulu pernah menolongmu, akan menolongmu lagi. Dia yang menyediakan tiang awan pada waktu siang dan tiang api pada waktu malam di padang gurun bagi bangsa Israel, Dia juga yang akan memeliharamu.”
“Dia bekerja di jalan yang tidak kita ketahui. Dia memberkati umatNya pada saat mereka tidur.”
“Sehelai rambut di kepalamu tidak akan jatuh tanpa Aku ketahui.”
“Sebab beginilah firman Tuhan semesta alam, yang dalam kemuliaanNya telah mengutus aku, mengenai bangsa-bangsa yang telah menjarah kamu  - sebab siapa yang menjamah kamu berarti menjamah biji mataNya.” Zakharia 2:8

Bagian tubuh kita yang bergerak reflek, tanpa perintah dari otak kita dan tanpa kita sadari, adalah kelopak mata kita. 
Sekecil apapun debu yang terbang ke arah mata kita, kelopak mata kita akan bergerak dan menutup dengan sendirinya, untuk melindungi biji mata kita.
Kalaupun sang debu itu berhasil mengenai mata kita, tanpa diperintah, kelenjar air mata akan memproduksi air mata yang lebih banyak untuk membersihkan biji mata kita dan menyapu debunya ke pinggir.
Seperti kelopak mata yang menjaga biji matanya, seperti itulah Tuhan menjaga kita !
Apapun kesalahan yang kita lakukan terhadapNya, dosa apapun yang menghalangi kita masuk menikmati hadiratNya, seberapa pun besar nya sakit hati Tuhan karena tingkah laku dan perbuatan kita, secara reflek dan tanpa berpikir panjang, Tuhan akan bereaksi dan bertindak melindungi kita.
KasihNya tanpa syarat, tapi janjiNya bersyarat.
KasihNya ini lah yang membuat Dia tidak dapat berpangku tangan saja melihat anakNya terancam.

Saudaraku,
Selama puluhan tahun, saya memiliki presepsi yang salah pada sebuah ayat di perjanjian lama.
“ Dan Aku akan memberi damai sejahtera di dalam negeri itu, sehingga kamu akan berbaring dengan tidak dikejutkan oleh apapun. Akulah Tuhan Allahmu yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya kamu jangan lagi menjadi budak mereka. Aku telah mematahkan kayu kuk yang di atasmu dan membuat kamu berjalan tegak” Imamat 26 : 6 &13
Kata-kata “kamu akan berbaring dan tidak dikejutkan” mengingatkan saya pada acara tutup peti di beberapa keluarga yang ditinggalkan orang yang mereka kasihi. Yah, kematian. Apalagi kemudian, di ayat berikutnya, kayu kuk pun disinggung oleh Musa sebagai penulis kitab ini.
Come on !  
Hidup ini adalah perjuangan, bagaimana tidak ada kuk ? Hidup ini tidak lah ringan, karena Tuhan mendidik kita, anak-anakNya kan?! Hidup ini berat !
Itu yang diajarkan oleh banyak hamba Tuhan, bukan?!
Jadi, ayat itu pasti bicara tentang kehidupan setelah kematian !! Bukan hidup sekarang, saat kita membaca buku ini !
Puluhan tahun kemudian, Tuhan ijinkan saya melihat kebenaran dari ayat ini, justru ketika saya merasa takut untuk membuka mata pada esok hari karena banyaknya masalah dan musuh di sekitar saya, sampai saya tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan saya.
Tuhan membawa saya ke satu titik di mana saya tidak bisa lagi mengeluarkan air mata ketakutan atau keringat kekhawatiran dan kecemasan, karena memang sudah kering !
Saya tidak bisa lagi lebih takut dan khawatir dari saat itu, saya tidak dapat lebih cemas lagi dari hari-hari gelap itu !
Saya hanya bisa bersyukur karena masih dipercaya Tuhan untuk melakukan sesuatu di hari itu.
Saya hanya bisa memujiNya karena Tuhan masih siapkan makan dan minum di hari itu untuk saya.
Saya hanya bisa menyembahNya dengan hancur hati karena merasa tidak pantas untuk menerima semua kebaikan itu.
Tuhanku terlalu baik untuk ku !
Dan pada saat itulah, mata dan hati saya menemukan kebenaran dari Imamat 26 di atas, yang bicara tentang penyertaan Tuhan pada saat bumi masih menjadi pijakan kaki kita.
Ada damai sejahtera, sekarang, justru pada saat saya punya seribu alasan untuk takut dan khawatir. Saya berbaring tanpa merasa takut untuk bangun dan menghadapi para penagih itu ! Saya rasakan langkah ringan walau beban tanggungjawab besar itu masih harus saya pikul.

Hidup ini bukan lah beban. 
Hidup ini tidak lah berat. 
Hidup ini bukan lah perjuangan.
Hidup ini adalah anugrah. 
Hidup ini indah. 
Hidup ini ringan.
Itulah kebenaran ! 
Itulah suara lembut Tuhan.
Mampukah kita mendengar Suara LembutNya sebelum kita menuntut jawaban dari Nya ?

“Aku di sini,
lebih dekat dari baju yang kau pakai,
lebih lembut dari angin yang mengusap kulitmu.
Bukalah pintumu,
dan Aku akan masuk untuk minum bersamamu.”