Kamis, 05 Maret 2015

Sebuah Batas Tipis

Tahun baru Imlek sudah selesai dua minggu lalu, kawan.

Hiasan-hiasan untuk menghormati saudara kita dari etnis Tionghoa pun sudah diturunkan, disimpan untuk digunakan lagi tahun depan. Dan serangkaian acara tahun baru ini pun ditutup dengan Festival Cap Go Meh, perayaan purnama pertama dalam tahun yang baru,  yang jatuh pada malam ke lima belas / cap go meh ini, merupakan akhir dari rangkaian acara tahun baru etnis Tionghoa.

Dilakukan dengan 
sembahyang penutupan tahun baru 
dan pemujaan kepada leluhur,  
rakyat Tiongkok senantiasa 
memasang lampion berwarna-warni, 
sehingga beberapa kalangan menyebutnya 
dengan Hari Raya Lampion. 

Konon, malam itu mereka merayakan penobatan seorang kaisar di jaman dinasti Han.

Selain menikmati keindahan lampion berwarna-warni, rakyat biasa disuguhi pula  dengan banyak sekali hiburan , seperti pertunjukan tari yangge / tarian khas penduduk Tiongkok utara, dan tari singa, atau yang sering disebut dengan istilah barongsai.


Semua orang bergembira pada saat itu.
Tua muda, lelaki atau perempuan. Anak-anak dan para orang tua.

Bahkan juga para penonton yang tidak ikut merayakannya, terkesima dan senantiasa menunggu festival ini dari tahun ke tahun.



Festival Cap Go Meh ini emang selalu mampu mengundang rasa penasaran kita, kawan.....

Bahkan juga di tanah air kita ini, guys !
Tahun baru Imlek diselenggarakan pada umumnya selama 15 hari. Hari raya ini, bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur).
Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan purnama, Umat melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.
- See more at: http://www.sendokgarpu.com/index.php/articles/food/1901-Latar-Belakang-dan-Sejarah-Perayaan-Cap-Go-Meh-#sthash.6JneWacf.dpuf

Tengok saja Singkawang, salah satu kabupaten di daerah Kalimantan Barat.
Rakyat berduyun-duyun menyaksikan festival yang dilakukan oleh saudara-saudaranya dari etnis Tionghoa itu.

Sementara di tanah Jawa, keluarga keturunan Tionghoa menghidangkan lontong cap go meh.

Terinspirasi ketupat hari raya Idul Fitri, masyarakat Tionghoa pesisir utara Jawa ini pun mengadaptasi masakan khas jawa,  lontong sayur, sebagai hidangan wajib di setiap akhir perayaan tahun baru mereka lho.....  sebuah bukti tradisi yang telah menyatu dalam darah mereka.....

Kuah santan opor ayam nya, 
sambal goreng ati empela nya,  
lodeh terong nya, 
kadang lodeh nangka muda, 
dengan bumbu abing / kelapa sangrai, 
bubuk kelapa nya....
juga bubuk kedelai nya...... 
hmmmmm....... 
terasa menyatu sempurna 
di lidah kita...... 
lidah Indonesia ....


Selain moyang mereka mempelajari
hidangan khas masyarakat Indonesia,
seperti lontong sayur ini,
mereka pun mengerti bagaimana
menjadi lebih Indonesia
dengan menggunakan busana khas Indonesia,
kain dengan kebaya nya, guys !!

Mereka mempelajari proses nya
Memegang canting nya
Menorehkan lilin untuk sepucuk kain batik
Dan menuangkan goresan budaya Tionghoa di atasnya
Naga nya... warna cerahnya... Nuansa nya....
Guratan lekuk garisnya....

Begitu harmonis !!
 
Alhasil, batik encim, istilah yang berasal dari dialek hokkian, cicik, yang berarti wanita yang dituakan, menjadi salah satu asset budaya bangsa ini.

Dari segi pertunjukan, yuk kita tengok pertunjukan khas kita, wayang kulit, dengan tokoh punakawan nya. Itupun ternyata dipelajari oleh mereka, guys !!

Alkisah, adalah seorang cina peranakan bernama Gan Thwan Sing, yang melihat indahnya "perkawinan" kedua budaya ini, kawan,  karena di negara nya sana, wayang pun ternyata ada lho.....

Mereka menyebutnya Wayang Potehi,
yang berasal dari Fujian, salah satu daerah di Tiongkok,  Berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong) dan hi 戯 (wayang).

Sekilas mirip wayang golek di sini, kawan....


Sehingga lahirlah Wayang Cina Jawa  di awal 1900 an.

Sedikit berbeda dengan wayang kulit,  
Wayang Cina Jawa ini awalnya 
tidak memiliki tokoh-tokoh konyol atau 
banyolan layaknya Semar, Petruk, Bagong dan Gareng. 

Namun kemudian Gan Thwan Sing menciptakan juga 
tokoh-tokoh tersebut dengan busana dan tata rambut bercorak Tionghoa kuno, 
namun tanpa tokoh Semar, 
karena Gan sangat memahami tokoh Semar ini 
merupakan lambang kemuliaan bagi orang Jawa yang sakral 
dan sangat filosofis serta khas Jawa, 
sehingga tidak memiliki padanan dalam budaya lain.  




Sebuah karya yang luar biasa !

Lahir dari  keluarga Cina peranakan tanah Jawa,
 mereka seakan ingin mengatakan, 
"Kami adalah putra dan putri Indonesia"

Yah.... Cina peranakan daerah ini adalah putra / putri Indonesia, kawan !

Mereka lahir di Indonesia, 
dibesarkan di lingkungan Indonesia, 
memakan makanan yang berasal dari tanah Indonesia, 
meminum air dari bumi Indonesia, 
menghirup oksigen dari udara Indonesia, 
dan kelak pun akan menyatu dengan tanah Indonesia.......

Mereka bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar ini !

Welcome, my friends
Mari bersama kita bangun negara ini 
tanpa harus menjadi kacang yang lupa pada kulitnya


2 komentar:

  1. Luar Biasa !!! Bagus sekali tulisanmu Frid !

    BalasHapus
  2. Thanks, bro...... kudu berguru lagi pada dirimu lagi nihhh......

    BalasHapus